Denpasar – Not for the fainted-hearted. Bukan ditujukan atau tidak cocok dikonsumsi kuping lazim. Too weird to live, too rare to die. Inilah salah satu arketipe yang dipertimbangkan untuk tidak diproduksi secara massal, khususnya bagi populasi band di skena punk Bali. Lima anak monyet dengan groove ganjil di persendian Viagra, menari liar, lompat-lompatan sebagaimana sekumpulan mutan pesakitan yang menelan not abstrak: Morbid Monke merilis “When I Feel Alive” via Dirt & Dust Records sebagai single pertama dalam sejarah evolusi penciptaan musik mereka.
Berasa tribal, namun pada akhirnya terkontemporerkan lewat sebuah komposisi art/post punk aneh yang membaurkan eksperimen eksploratif belalai terompet pseudo jazz, disonansi psychedelic noise berupa colongan lick gitar, dan rapalan vokal macam tengah membeling. Tidak ada kombinasi seperti mereka sebelumnya. Dengan formasi anyar penyanyi Karisma Kele, gitaris Krisna Dwipayana, bassis Deoka, terompet Dewok serta dramer Gerby, Morbid Monke melahirkan kepada kita bentuk paling ganjil dari representasi seekor punk rocker gila di suasana karnaval lantai disco.
“Aku ingin penonton tuh bouncing, bukan mosh. Makanya musik kami tidak kaku dalam satu genre saja. Aku berani kasih garansi, kalau kamu mau tahu gimana enaknya nge-dance, silakan datang ke live show kami,” ujar Kele coba menggoda urat jejingkrakan kalian.
Dan semuanya terdengar di single “When I Feel Alive”. Sebuah ode tentang gairah hidup yang intens. Kebebasan hibrida menjadi orbit otentik lagu itu, begitu bebas selagi hilang belenggu dan rasa cemas berganti dengan euforia warna-warni. Morbid Monke mengimortalisasi momen-momen pencerahan terbaik milik mereka dari sejak terbentuk pada September 2024 silam, lalu menggubahnya ke dalam suatu aransemen eksentrik, di mana sebotol wiski mengikat perhatian lima anak monyet yang melingkar terbakar jiwa, menggerutu, bermimpi, bicara mengenai teori konspirasi, ngalor ngidul soal Beelzebub hingga ocehan konyol sepasang “moot boob”. Semuanya berlangsung secara simultan, kemudian Krisna mengerjakan musiknya, Dewok menulis liriknya, sementara Kele-Deoka-Gerby membangun pondasi quirky ritem yang kokoh sekaligus sumbang.
“Lagu ini bercerita tentang proses bonding chemistry kami sebagai band. Di Bali, kita pasti minum. Teruslah aku bawa wiski setiap kali latihan, kita mabuk bareng, dari sanalah akar Morbid Monke kecemplung total. Cara kami menemukan spirit bareng itulah yang aku tuliskan menjadi lirik,” ucap Dewok.
Dirilisnya “When I Feel Alive” memperlihatkan praktik ambisi dari sebuah kuintet monyet, untuk berlagu produktif dalam jangka waktu tergolong singkat—kurang dari setahun dan mereka telah memenangkan sebuah kompetisi musik yang memberi kesempatan untuk rekaman dengan Robi Navicula menggubah ulang “Dinasti Matahari” dan sebuah lagu sendiri berjudul “Eight Ball”. Dua lagu yang kemudian diterbitkan terbatas sebagai maxi-single Record Store 2025 Edition, rilisan mandiri.
Tidak hanya berhenti di “When I Feel Alive”, dua single berikutnya telah siap beruntun menyusul terbit, invitasi menuju debut album penuh yang menolak kepunahan. Jika kalian menyukai kunci gitar sumbang, sound rock yang kutu buku, awkward dance tetapi berjenaka selayaknya seekor monyet sawan, Morbid Monke adalah band punk yang tepat untuk dimakan.
Single “When I Feel Alive” sudah bisa dinikmati di semua DSP mulai 18 Juli 2025.
Instagram: @morbidmonke